Arti Pesong Bahasa Medan

Arti Pesong Bahasa Medan

Tambahan Kamus Bahasa Medan Percakapan

Jadi ingat lagi, beberapa minggu lalu seorang sahabat lama di Medan menelepon. Namanya Rossita, temen kuliah saya dulu.

Begini kita ngobrolnya:

“Mak, apa kabar? Sehat kelen kan?”

“Sehat aku, Mak Ros. Kau sehat?”

“Alhamdullilah sehat.” jawabnya. “Aku lagi di kede kenalanku ni, Mak. Orang ini jualan kopi, terus kukasihlah kopi darimu, biar dicobak orang ini kan.”

“Udah kusuruh orang ini polo kau, ya.” Polo = follow.

“Tapi kau kutelepon dululah, aku tahu nanti kau pasti gak mau nerge orang, kalau kau gak kenal.” (terge-red)

“Iyalah, namanya pun gak kenal.” jawab saya. Maksudnya, ‘iyalah, kan gak kenal’.

Lalu kami berdua ketawa.

"Kakak kampungnya di mana?" Detikers yang tinggal di Sumut pastinya tahu maksud dari pertanyaan tersebut, yaitu menanyakan daerah asal. Namun, orang dari luar Sumatra ternyata ada yang gagal paham ketika mendengar pertanyaan itu, lho.

Meskipun sama-sama menggunakan bahasa Indonesia, orang dari luar Sumut bisa saja tidak mengerti apa yang orang Medan bicarakan. Untuk itu, buat detikers yang merantau ke Sumatera, penting bagimu untuk sedikit mempelajari bahasa sehari-harinya.

Dikutip dari berbagai sumber, mari simak rangkuman informasi tentang bahasa Medan sehari-hari yang telah dikemas detikSumut berikut ini!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Cemana = BagaimanaMerupakan singkatan "macam mana" alias "bagaimana". Contoh: "Cemananya cara ngerjain soal ini?"

2. Kekmana = Kayak ManaPenggunaannya kurang lebih sama dengan cemana. Contoh: "Mau kekmana lagi, lah, weh. Aku pun dah pasrah."

3. Weh = Guys/Teman-temanSapaan weh sama dengan guys. Bahasa Medan sehari-hari ini selalu diucapkan untuk menyeru kepada teman. Contoh: "Weh... Tengok dulu kemari. Capek aku koar-koar di sini."

4. KauDalam percakapan sehari-hari, orang Medan lebih sering menggunakan kata ganti kau ketimbang kamu. Mungkin, ini terdengar kurang sopan dan sedikit kasar bagi orang dari luar Sumut, tapi begitu adanya. Contoh: "Kau mo kemana pakek baju kek gitu?"

5. Kelen = KalianOrang Medan memang suka memplesetkan kata. Buktinya, kata ganti kalian lebih sering diucapkan sebagai "kelen". Contoh: "Kelen mo kemana, weh?"

6. PalakDi luar Sumut, kata palak mungkin lebih merujuk pada 'menindas atau memeras orang lain'. Namun, di Medan, kata ini punya makna lain yang berarti 'kesal'. Contoh: "Awas dulu kau! Lagi palak aku ini!"

7. Kali = BangetDalam bahasa Indonesia, kata kali memiliki banyak arti: bisa merujuk sungai ataupun perkalian. Akan tetapi, dalam konteks ini, kali merupakan singkatan dari kata sekali.

Penggunaannya sama dengan kata banget. Nah, alih-alih mengucapkan banget, orang Medan lebih sering menggunakan "kali" untuk menyatakan suatu hal dalam konteks superlatif. Contoh: "Enak kali, bah, makanan mamakku ini."

8. BahBah di sini bukan bermakna air yang meluap, ya. Bah adalah kata seru yang sering diucapkan orang Medan, terlebih suku Batak, di akhir kalimat.

Fungsinya dalam kalimat adalah untuk menambah penekanan. Contoh: "Enak kali, bah, makanan mamakku ini." 9. Cak = CobaBukan berakar dari tari kecak maupun panggilan khas Jawa Timur, bahasa Medan sehari-hari ini merupakan penyingkatan dari kata coba. Contoh: "Aku gak ngerti apa yang kau buat. Cak ke sini dulu kau."

10. Ehe = Ya ElahIni bukan ekspresi berupa tawa kecil, ya. Penggunaan "ehe" kurang lebih sama dengan "ya elah". Contoh: "Ehe, gitu aja gak tahu kau."

11. Kereta = MotorDijamin 100 persen, orang-orang di luar Sumatera, terlebih dari Pulau Jawa, pasti langsung kepikiran dengan kereta api kalau mendengar kata ini. Padahal, kata kereta di Medan bermakna "motor".

Jadi, kalau yang dimaksud kereta api, apa yang diucapkan? Orang Medan cenderung mengucapkan kata tersebut secara keseluruhan. Jadinya seperti ini: "Ngapain pulak kau ke Medan naik kereta (motor). Mending naik kereta api aja."

12. Pajak = Pasar TradisionalKata pajak juga mengalami pergeseran makna di Medan. Bukan mengacu pada kantor pajak, kata ini malah berarti 'pasar tradisional'. Contoh: "Antarkan dulu Mamak ke pajak. Mau belik cabe aku."

13. Pasar = Jalan RayaSelain pajak, kata pasar juga bergeser maknanya. Orang Medan kerap mengucapkannya untuk mengatakan "jalan raya". Contoh: "Kan, udah Mamak bilang jangan main di pasar!"

14. Abang/Kakak = Mas/MbakKalau di Medan, laki-laki yang lebih tua biasanya dipanggil "abang". Sementara itu, perempuan yang lebih tua dipanggil sebagai "kakak". Contoh: "Bang/Kak, cabe sekilo berapaan?"

15. Tengok = LihatSemua orang Indonesia pastinya tahu arti tengok, yaitu melihat. Namun, daripada mengatakan lihat, orang Medan lebih banyak memakai kata tengok. Contoh: "Kau tengok dulu mukakmu itu. Ada putih-putih."

Bahasa Medan lainnya simak di halaman selanjutnya...

Begitu juga dengan kedua kata ini. Preferensi orang Medan, dan mungkin kebanyakan masyarakat di Pulau Sumatra, lebih sering mengucapkan "cakap" dan "ngomong" sebagai pengganti "bicara" dan "bilang".

Contoh: "Banyak kali cakapmu itu."; "Gak tau, lah, aku, tapi pokoknya dia ngomong kek gitu ke aku."

17. Kombur = Gosip/Banyak BicaraKegiatan bergosip disebut sebagai "kombur" di Medan. Contoh: "Bekombur aja kerjaan kelen."

18. Congok = RakusBahasa Medan sehari-hari ini merujuk pada orang yang rakus ketika makan. Contoh: "Congok kali kau ini. Sampek gak bersisa makanan kau buat."

19. Celit = PelitKata celit memiliki makna yang sama dengan pelit. Contoh: "Jangan celit kali napa jadi orang."

20. Angek = IriAda kawan yang iri denganmu? Berarti dia lagi angek. Contoh: "Alah, bilang aja kau angek samaku."

21. Galon = SPBUDi Medan, galon bukan hanya berarti galon air minum, tetapi juga SPBU. Contoh: "Bentar. Aku mau ke galon dulu. Mau ngisi minyak (bensin) aku."

22. Aci = BolehAci di sini bukan berarti tepung aci untuk membuat cilok, ya. Artinya sama dengan kata boleh. Contoh: "Mana aci kek gitu."

23. Ecek-ecek = Pura-puraApa yang terlintas di pikiranmu ketika melihat kata di atas? Apakah becek? Pastinya bukan. Maksud ecek-ecek adalah berpura-pura. Contoh: "Sorry, ya. Ecek-eceknya tadi aku ngomong kek gitu."

24. Berserak = KecelakaanBerserak artinya berantakan. Namun, di Medan, kata tersebut juga bisa berarti kecelakaan. Contoh: "Weh, ada yang berserak!"

25. Langgar = TabrakDalam percakapan sehari-hari di Medan, langgar berarti 'tabrak'. Biasanya diucapkan ketika ada seseorang yang tak sengajak tertabrak mobil ataupun motor. Contoh: "Tadi kulihat ada anak-anak kenak langgar mobil, weh."

26. Paok/Bengak = Bego/BodohKalau di Pulau Jawa lebih sering menggunakan kata bego, orang-orang di Medan biasanya memakai kata paok atau bengak. Contoh: "Paok/bengak kali kau ini, lho."

27. Pening = PusingDi Medan, kondisi kepala yang sakit biasanya lebih sering disebut sebagai pening. Kata ini juga lazim diucapkan di saat kamu berada dalam kondisi yang membuatmu stres.

Contoh: "Diam dulu kau. Lagi pening aku."; "Duh, pening kali aku nengok tulisanmu ini. Gak terbaca sama sekali."

28. Begadoh/Berantam/Betumbuk = BerkelahiDalam bahasa Medan sehari-hari, orang yang sedang berkelahi bisa disebut begadoh, berantam, atau betumbuk. Contoh: "Layas kali matamu kutengok, bah. Betumbuk kita ayok!"

29. Lasak = Sulit Diam/PecicilanSeseorang yang tidak bisa diam dan cenderung ingin selalu bergerak dikenal dengan sebutan "lasak" di Medan. Contoh: "Yang gak bisa diamnya kau ini?! Lasak kali jadi orang."

30. Bonbon/Bombon = PermenBahasa Medan sehari-hari terakhir adalah bombon atau bonbon. Kata ini merujuk pada permen. Contoh: "Kau mau bombon?"

Perlu detikers ketahui pula, orang Medan juga sering menambahkan partikel "lah" atau akhiran "nya" di setiap pembicaraan. Sebagai contoh, "Sukak-sukak hatiku, lah!" dan "Gak kau pakeknya otakmu itu?"

Supaya cara bicaramu menyerupai logat orang Medan, detikers bisa mulai menggunakan 30 bahasa Medan sehari-hari di atas ketika ngobrol dengan teman. Cemana, udah ngerti kelen sampek sini, kan?

Pengen cerita ah tentang Medan, kota yang saya tinggali sebelum Jakarta. Kalau dihitung-hitung, lama saya tinggal di Medan 20 tahun, lalu pindah ke Jakarta sampai sekarang sudah 13 tahun lebih.

Banyak teman lama di Medan bertanya, kira-kira saya masih ingin kembali tinggal di Medan gak nanti kalau sudah pensiun? Ya saya jawab belum tahulah, tengok situasi dululah ya kan?

Terus kan, meskipun udah lama di Jakarta, tapi kalau pas lagi nongkrong di mana gitu, suka ketemu aja gitu orang Medan yang langsung bikin saya kangen sama Medan.

Seperti bulan lalu saat saya dan Vay mampir ke kedai kopi di KoKas untuk membeli choco chip frappucino Vay. Saat itu kami sudah duduk di kursi yang memang sudah diatur jaraknya mengikuti aturan physical distancing. Lalu datanglah dua perempuan muda yang lalu duduk di seberang kami.

Tak lama mereka mengobrol, dengan suara sedang tapi gak terlalu pelan, dan telinga saya langsung terbuka. Keknya orang Medan ini, begitu batin saya. Eh malah saya keterusan mau nguping haha…

Lalu teringat juga pada kejadian setahun yang lalu. Waktu itu masih di kedai kopi yang sama, saya lagi duduk sebentar menunggui Vay yang sedang santai minum. Lalu sebelah kami, pas empat orang cowok cewek mengobrol dengan suara kencang. Telinga saya sudah kebuka dong pastinya, tapi yang harus digarisbawahi adalah anak saya yang langsung refleks menoleh ke arah mereka karena kaget dengan suara kencang dan dialek yang khas, lalu balik memandang saya sambil senyum lebar. “Teman Mami,” katanya. LOL.

Teman-teman dekat saya di Jakarta ini sering salah mengira kalau saya dan keluarga di rumah pasti ngomongnya pakai bahasa Medan (atau dikira mereka pakai bahasa Batak). Bisa jadi mereka pada mikir begitu karena selama bergaul dengan mereka saya rajin mengeluarkan sisi orang Medan saya, dan juga gaya bataknya. Ini baru kira-kira tujuh-delapan tahun belakangan saja saya semakin rajin balik ke gaya Medan, gara-gara saat itu ada anak baru asal Siantar, Bernad yang baru masuk divisi kami. Begitu dia tahu kami satu kampung, langsung keluarlah kan bataknya. Saya pun jadi ketemu teman, dan akhirnya bisa mengeluarkan kangennya ngomong Medan.

Lalu ketika ada teman sekantor, Nessa, dinas ke Medan dan dia ngomongnya “kebatak-batakan dan ke-medan-medanan”, orang Medan bingung kok bisa ini orang Jakarta jago kamus bahasa Medan. Dari mana dia belajar bahasa Medan? Terus teman saya bilang, “Tahu dari KakZy lah!” LOL. Terus yang di Medan bilang heran kok bisa semua jadi terikut-ikut karena si Zizy? Padahal selama di Medan dia gak terlalu kelihatan Medan-nya. Selolahhh….

Tapi sesungguhnya, di rumah tidak ada yang ngomongnya kek orang Medan atau kebatak-batakan, selain saya. Ayahnya Vay (meskipun Batak) aslinya besar di Jakarta jadi gak bisa dia sok-sok jadi orang Medan, pasti kaku, gak cocok. Mending gak usah sok jadi orang Medan daripada diketawain. Vay apalagi.

Di rumah opung Vay di Medan, kita ngomongnya campur, mixed antara bahasa Medan dan bahasa Papua. Buat yang belum tahu, mami saya keturunan Ambon dan sebelum pindah ke Medan kami tinggal di pulau indah di Papua, pulau Biak.

Kamus Bahasa Medan dan artinya

Oke sekarang ini dia kamus bahasa Medan. Semoga cukup ini buat dihapal sebelum jalan ke Medan sekitarnya.

Lalu ada istilah di bawah ini yang makin populer karena dipakai oleh Alm. Sutan Bathoegana tapi sebenarnya sudah jadi bahasa gaul sehari-hari orang Medan.

197. Ngeri-ngeri sedap: ketar-ketir, deg-degan menghadapi situasi. Situasi yang cocok digambarkan, misalnya kita mau atau habis ketemu seorang CEO untuk final interviu dan kita ceritakan pada teman kalau situasinya tadi “ngeri-ngeri sedap”, agak ngeri tapi aman juga… kurang lebih begitu.

198. Masuk barang tu / masok dia: ungkapan ketika akhirnya keluar jurus pamungkas yang ditunggu-tunggu

Apa sebenarnya maksud kata “apakan dulu”?

Inilah yang paling sering mengundang tawa. Jangankan orang luar Medan, orang Medan ajapun kadang suka ketawa sendiri kalau udah sampai pada percakapan pamungkas ini.

“Dek, tolonglah dulu apakan itu biar apa dulu.” Maksudnya apa coba? Hahaha… ini maksudnya hanya bisa ketahuan kalau ada peraganya. Misalnya saya mau minta tolong anak saya merapikan sesuatu, maka saya akan tunjuk barangnya, lalu entah kenapa mau bilang panjang-panjang kan capek ya, jadilah pakai “Tolonglah apakan dulu biar apa.” Dan anak saya terkekeh-kekeh sendiri karen geli dengan bahasa maminya.

Ya kurang lebih itulah yang saya ingat ya, kalau ada yang mau menambahkan silakan lho. Semoga tulisan ini bisa membantu bagi yang ingin belajar bahasa Medan.

Oh iya, kalau kalian jadi jalan-jalan ke Medan, jangan lupa melipir juga ke sekitarnya, main-mainlah atau kemping di Bukit Gajah Bobok, atau bisa juga mampir ke Taman Simalem Resort. Dua tempat wisata di Tanah Karo itu memang termasuk yang kelewatan indahnya, saking keterlaluan indahnya, pasti nyesal kalau gak mampir. Di sana kalian akan bisa melihat indahnya Danau Toba dari sisi lain. Percayalah kataku, percuma liburan jauh-jauh ke luar negeri, tapi kalau belum pernah melihat langsung danau fenoemenal di negeri sendiri ini, RUGI!

Kolaborasi Medan Berkah

Medan (Jawi: ميدن; Surat Batak: ᯔᯩᯑᯉ᯲; Hanzi: 棉蘭; Tamil: மேடான்) adalah ibu kota Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar keempat di Indonesia setelah DKI Jakarta, Surabaya, dan Bandung serta kota terbesar di luar Pulau Jawa, sekaligus kota terbesar di Pulau Sumatra.[13][14][15]

Kota Medan merupakan pintu gerbang wilayah Indonesia bagian barat dengan keberadaan Pelabuhan Belawan dan Bandar Udara Internasional Kualanamu yang merupakan bandara terbesar kedua di Indonesia. Akses dari pusat kota menuju pelabuhan dan bandara dilengkapi oleh jalan tol dan kereta api. Medan adalah kota pertama di Indonesia yang mengintegrasikan bandara dengan kereta api. Berbatasan dengan Selat Malaka, Medan menjadi kota perdagangan, industri, dan bisnis yang sangat penting di Indonesia. Pada tahun 2022, Kota Medan memiliki penduduk sebanyak 2.494.512 jiwa, dengan kepadatan penduduk 9.413 jiwa/km2.[5][13]

Sejarah Medan berawal dari sebuah kampung yang didirikan oleh Guru Patimpus di pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura. Hari jadi Kota Medan ditetapkan pada 1 Juli 1590. Selanjutnya pada tahun 1632, Medan dijadikan pusat pemerintahan Kesultanan Deli, sebuah kerajaan Melayu. Bangsa Eropa mulai menemukan Medan sejak kedatangan John Anderson dari Inggris pada tahun 1823. Peradaban di Medan terus berkembang hingga Pemerintah Hindia Belanda memberikan status kota pada 1 April 1909 dan menjadikannya pusat pemerintahan Karesidenan Sumatra Timur. Memasuki abad ke-20, Medan menjadi kota yang penting di luar Pulau Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran.

Menurut Bappenas, Medan adalah salah satu dari empat pusat pertumbuhan utama di Indonesia, bersama dengan Jakarta, Surabaya, dan Makassar.[16][17] Medan adalah kota multietnis yang penduduknya terdiri dari orang-orang dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda-beda. Selain Melayu dan Batak Karo sebagai penghuni awal, Medan didominasi oleh etnis Jawa, Batak, Tionghoa, Minangkabau, dan India. Mayoritas penduduk Medan bekerja di sektor perdagangan, sehingga banyak ditemukan ruko di berbagai sudut kota. Di samping kantor-kantor pemerintah provinsi, di Medan juga terdapat kantor-kantor konsulat dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, India, Jepang, Malaysia, dan Jerman.

Medan berasal dari kata bahasa Tamil Maidhan (மனிதன்) atau Maidhanam (மைதானம்), yang berarti tanah lapang atau tempat yang luas, yang kemudian teradopsi ke Bahasa Melayu. Dalam Kamus Indonesia-Karo (2002) yang ditulis Darwin Prinst, kata 'medan' berarti 'menjadi sehat' atau 'lebih baik.'[18]

Hari jadi Kota Medan diperingati tiap tahun sejak tahun 1970 yang pada mulanya ditetapkan pada tanggal 1 April 1909. Tanggal ini kemudian mendapat bantahan yang cukup keras dari kalangan pers dan beberapa ahli sejarah. Karena itu, Wali kota membentuk panitia sejarah hari jadi Kota Medan untuk melakukan penelitian dan penyelidikan. Surat Keputusan Wali kotamadya Kepala Daerah Kotamadya Medan No. 342 tanggal 25 Mei 1971 yang waktu itu dijabat oleh Drs. Sjoerkani membentuk Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Medan. Duduk sebagai Ketua adalah Prof. Mahadi, SH, Sekretaris Syahruddin Siwan, MA, Anggotanya antara lain Ny. Mariam Darus, SH dan T.Luckman, SH. Untuk lebih mengintensifkan kegiatan kepanitiaan ini dikeluarkan lagi Surat Keputusan Wali kotamadya Kepala Daerah Kotamadya Medan No.618 tanggal 28 Oktober 1971 tentang Pembentukan Panitia Penyusun Sejarah Kota Medan dengan Ketuanya Prof.Mahadi, SH, Sekretaris Syahruddin Siwan, MA dan Anggotanya H. Mohammad Said, Dada Meuraxa, Letkol. Nas Sebayang, Nasir Tim Sutannaga, M.Solly Lubis, SH, Drs. Payung Bangun, MA dan R. Muslim Akbar. DPRD Medan sepenuhnya mendukung kegiatan kepanitiaan ini sehingga merekapun membentuk Pansus dengan ketua M.A. Harahap, beranggotakan antara lain Drs. M.Hasan Ginting, Djanius Djamin, Badar Kamil, BA dan Mas Sutarjo.

Dalam buku The History of Medan tulisan Tengku Luckman Sinar (1991), dituliskan bahwa menurut "Hikayat Aceh", Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli. Sejak akhir abad ke-16, nama Haru berubah menjadi Ghuri, dan akhirnya pada awal abad ke-17 menjadi Deli. Pertempuran terus-menerus antara Haru dengan Aceh mengakibatkan penduduk Haru jauh berkurang. Sebagai daerah taklukan, banyak warganya yang dipindahkan ke Aceh untuk dijadikan pekerja kasar.

Selain dengan Aceh, Kerajaan Haru yang makmur ini juga tercatat sering terlibat pertempuran dengan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaka dan juga dengan kerajaan dari Jawa. Serangan dari Pulau Jawa ini antara lain tercatat dalam kitab Pararaton yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu. Dalam Negarakertagama, Mpu Prapanca juga menuliskan bahwa selain Pane (Panai), Majapahit juga menaklukkan Kampe (Kampai) dan Harw (Haru). Berkurangnya penduduk daerah pantai timur Sumatra akibat berbagai perang ini, lalu diikuti dengan mulai mengalirnya etnis-etnis dari dataran tinggi pedalaman turun ke pesisir pantai timur Sumatra. Etnis Batak Karo bermigrasi ke daerah pantai Langkat, Serdang, dan Deli. Etnis Batak Simalungun ke daerah pantai Batu Bara dan Asahan, serta etnis Batak Mandailing ke daerah pantai Kualuh, Kota Pinang, Panai, dan Bilah di Labuhanbatu.[19]

Dalam Riwayat Hamparan Perak yang dokumen aslinya ditulis dalam huruf Karo pada rangkaian bilah bambu, tercatat Guru Patimpus Sembiring Pelawi, tokoh masyarakat Karo, sebagai orang yang pertama kali membuka "desa" yang diberi nama Medan. Namun, naskah asli Riwayat Hamparan Perak yang tersimpan di rumah Datuk Hamparan Perak terakhir telah hangus terbakar ketika terjadi "kerusuhan sosial", tepatnya tanggal 4 Maret 1946. Patimpus adalah anak Tuan Si Raja Hita, pemimpin Karo yang tinggal di Kampung Pekan (Pakan). Ia menolak menggantikan ayahnya dan lebih tertarik pada ilmu pengetahuan dan mistik, sehingga akhirnya dikenal sebagai Guru Patimpus. Antara tahun 1614-1630 Masehi, ia belajar agama Islam dan di-Islamkan oleh Datuk Kota Bangun, setelah kalah dalam adu kesaktian. Selanjutnya Guru Patimpus menikah dengan adik Tarigan, pemimpin daerah yang sekarang bernama Pulau Brayan dan membuka Desa Medan yang terletak di antara Sungai Babura dan Sungai Deli. Dia pun lalu memimpin desa tersebut.[19]

Guru Patimpus Sembiring Pelawi pada tahun 1590 kemudian dipandang sebagai pembuka sebuah kampung yang bernama Medan Puteri walaupun sangat minim data tentang Guru Patimpus sebagai pendiri Kota Medan. Karenanya hari jadi ditetapkan berdasarkan perkiraan tanggal 1 Juli 1590 dan diusulkan kepada Wali kota Medan untuk dijadikan sebagai hari jadi Medan dalam bentuk perkampungan, yang kemudian dibawa ke Sidang DPRD Tk.II Medan untuk disahkan. Berdasarkan Sidang DPRD tanggal 10 Januari 1973 ditetapkan bahwa usul tersebut dapat disempurnakan. Sesuai dengan sidang DPRD, Wali kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Medan mengeluarkan Surat Keputusan No.74 tanggal 14 Februari 1973 agar Panitia Penyusun Sejarah Kota Medan melanjutkan kegiatannya untuk mendapatkan hasil yang lebih sempurna. Berdasarkan perumusan yang dilakukan oleh Pansus Hari Jadi Kota Medan yang diketuai oleh M.A.Harahap bulan Maret 1975 bahwa tanggal 1 Juli 1590. Secara resmi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tk.II Medan menetapkan tanggal 1 Juli 1590 sebagai Hari Jadi Kota Medan dan mencabut Hari Ulang Tahun Kota Medan yang diperingati tanggal 1 April setiap tahunnya pada waktu sebelumnya.

Di Kota Medan juga menjadi pusat Kesultanan Melayu Deli, yang sebelumnya adalah Kerajaan Haru. Kesultanan Deli adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1632 oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan di wilayah bernama Tanah Deli (kini Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, Indonesia).

John Anderson, orang Eropa asal Inggris yang mengunjungi Deli pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan seorang pemimpin bernama Raja Pulau Berayan sudah sejak beberapa tahun bermukim disana untuk menarik pajak dari sampan-sampan pengangkut lada yang menuruni sungai. Pada tahun 1886, Medan secara resmi memperoleh status sebagai kota, dan tahun berikutnya menjadi ibu kota Keresidenan Sumatra Timur sekaligus ibu kota Kesultanan Deli. Tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota orang Eropa, dua orang bumiputra Melayu, dan seorang Tionghoa.

Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan. Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Mereka datang ke Medan bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru, dan ulama.

Sejak tahun 1950, Medan telah beberapa kali melakukan perluasan areal, dari 1.853 ha menjadi 26.510 ha pada tahun 1974. Dengan demikian dalam tempo 25 tahun setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas kali lipat.

Luas wilayah Kota Medan adalah 265,10 km2.[20] Persentase luasnya sama dengan 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar.[butuh rujukan] Wilayah Kota Medan berada pada 3° 27' – 3° 47' Lintang Utara dan 98° 35'–98° 44' Bujur Timur.[21] Topografi kota Medan cenderung miring ke utara. Ketinggian wilayahnya mulai dari 2,5–37,5 meter di atas permukaan laut.[22]

Secara administratif, batas wilayah Medan adalah sebagai berikut:

Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan sumber daya alam (SDA), khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karena secara geografis Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai, dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

Sedikitnya ada sembilan sungai yang melintasi kota ini yakni Sungai Belawan, Sungai Badera, Sungai Sikambing, Sungai Putih, Sungai Babura, Sungai Deli, Sungai Sulang-Saling, Sungai Kera, dan Sungai Tuntungan. Pembenahan atau penataan sungai di Medan telah direncakan, untuk membentuk wisata heritage di kota Medan.[23] Selain itu, untuk mencegah banjir yang terus melanda beberapa wilayah Medan, pemerintah telah membuat sebuah proyek kanal besar yang lebih dikenal dengan nama Medan Kanal Timur.

Berdasarkan klasifikasi iklim Köppen, Medan memiliki iklim hutan hujan tropis dengan musim kemarau yang tidak jelas.[24] Medan memiliki bulan-bulan yang lebih basah dan kering, dengan bulan terkering (Februari) rata-rata mengalami presipitasi sekitar sepertiga dari bulan terbasah (Oktober). Suhu di kota ini rata-rata sekitar 27 derajat Celsius sepanjang tahun. Presipitasi tahunan di Medan sekitar 2200 mm.

Wali Kota Medan adalah pemimpin tertinggi di lingkungan Pemerintah Kota Medan. Wali kota Medan bertanggungjawab kepada Gubernur provinsi Sumatera Utara. Saat ini, wali kota atau kepala daerah yang menjabat di Kota Medan ialah Bobby Nasution, dengan wakil wali kota Aulia Rachman. Mereka menang pada Pemilihan umum Wali Kota Medan 2020. Bobby Nasution merupakan menantu dari presiden Indonesia Joko Widodo, dan ia adalah wali kota Medan ke-18 setelah kemerdekaan.

Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD Kota Medan dalam tiga periode terakhir.

Kota Medan terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan dengan luas wilayah mencapai 265,00 km² dan jumlah penduduk sekitar 2.478.145 jiwa (2017) dengan kepadatan penduduk 9.352 jiwa/km².[31][32]

Daftar kecamatan dan kelurahan di Kota Medan, adalah sebagai berikut:

Berdasarkan data kependudukan tahun 2005, penduduk Medan diperkirakan telah mencapai 2.036.018 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria, (1.010.174 jiwa > 995.968 jiwa). Jumlah penduduk tersebut diketahui merupakan penduduk tetap, sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 500.000 jiwa, yang merupakan penduduk komuter.

Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010, penduduk Medan berjumlah 2.109.339 jiwa.[34] Penduduk Medan terdiri atas 1.040.680 laki-laki dan 1.068.659 perempuan.[34] Bersama kawasan metropolitannya (Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang) penduduk Medan mencapai 4.144.583 jiwa. Dengan demikian Medan merupakan kota dengan jumlah penduduk terbesar di Sumatra dan keempat di Indonesia.

Sebagian besar penduduk Medan berasal dari kelompok umur 0-19 dan 20-39 tahun (masing-masing 41% dan 37,8% dari total penduduk). Dilihat dari struktur umur penduduk, Medan dihuni lebih kurang 1.377.751 jiwa berusia produktif, (15-59 tahun). Selanjutnya dilihat dari tingkat pendidikan, rata-rata lama sekolah penduduk telah mencapai 10,5 tahun. Dengan demikian, secara relatif tersedia tenaga kerja yang cukup, yang dapat bekerja pada berbagai jenis perusahaan, baik jasa, perdagangan, maupun industri manufaktur.

Laju pertumbuhan penduduk Medan periode tahun 2000-2004 cenderung mengalami peningkatan, dimana tingkat pertumbuhan penduduk pada tahun 2000 adalah sebesar 0,09% dan menjadi 0,63% pada tahun 2004. Jumlah penduduk paling banyak ada di Kecamatan Medan Deli, disusul Medan Helvetia dan Medan Tembung. Jumlah penduduk yang paling sedikit, terdapat di Kecamatan Medan Baru, Medan Maimun, dan Medan Polonia. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi ada di Kecamatan Medan Perjuangan, Medan Area, dan Medan Timur. Pada tahun 2004, angka harapan hidup bagi laki-laki adalah 69 tahun sedangkan bagi wanita adalah 71 tahun.

Kota Medan memiliki beragam etnis atau suku bangsa dengan mayoritas penduduk beretnis Batak, Jawa, Tionghoa, dan Minangkabau. Adapun etnis aslinya adalah Batak Karo bagian Jahe atau pesisir dan Melayu. Keanekaragaman etnis di Medan terlihat dari jumlah masjid, gereja, dan vihara Tionghoa yang banyak tersebar di seluruh kota. Daerah di sekitar Jalan Zainul Arifin dikenal sebagai Kampung Keling, yang merupakan daerah pemukiman orang keturunan India.

Secara persentasi, Kota Medan didominasi oleh suku bangsa Batak, yang meliputi Batak Toba, Batak Angkola, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Pakpak. Penduduk kota Medan berdasarkan suku bangsa tahun 2000 yakni Batak sebanyak 33,70% (Batak Toba 19,21%; Batak Angkola dan Batak Mandailing 9,36%; Batak Karo 4,10%; Batak Simalungun 0,69%; Batak Pakpak 0,34%). Kemudian suku Jawa sebanyak 33,03%, diikuti Tionghoa sebanyak 10,65%, kemudian Minangkabau sebanyak 8,60%, Melayu 6,59%, Aceh 2,78%, Nias sebanyak 0,69%, dan suku lainnya 3,96%.[36]

Secara historis, pada tahun 1918 tercatat bahwa Medan dihuni oleh 43.826 jiwa. Dari jumlah tersebut, 409 orang keturunan Eropa, 35.009 orang Indonesia, 8.269 keturunan Tionghoa, dan 139 berasal dari ras Timur lainnya.

Angka Harapan Hidup penduduk kota Medan pada tahun 2007 adalah 71,4 tahun, sedangkan jumlah penduduk miskin pada tahun 2007 adalah 148.100 jiwa.

Selain multi etnis, Kota Medan juga dikenal dengan kota yang beragam agama. Meskipun demikian, warga kota Medan tetap menjaga perdamaian dan kerukunan meskipun berbeda keyakinan. Berdasarkan data sensus Kota Medan tahun 2018 menunjukan bahwa mayoritas penduduk menganut agama Islam 65,78%, kemudian Kristen Protestan 20,15%, Buddha 8,65%, Katolik 4,63%, Hindu 0,79% dan Konghucu kurang dari 0,01%.[6][37]

Sumatera utara dikenal dengan kuliner khas IndiaIndia yang beragam, mencerminkan pengaruh komunitas India yang kuat di beberapa kotanya terutama di Medan dan Pematangsiantar. Beberapa makanan populer antara lain roti canai yang disajikan dengan kari kambing atau ayam yang kaya rempah, serta nasi briyani yang harum dengan daging berbumbu. [38][39] .Martabak India dengan isian daging cincang berbumbu dan dosa, sejenis pancake tipis yang disajikan dengan chutney dan sambar, juga menjadi favorit. Untuk hidangan penutup, ada gulab jamun, bola-bola susu goreng yang direndam dalam sirup manis. Minuman khas seperti teh masala, yang dibuat dengan jahe, kayu manis, dan kapulaga, menambah pengalaman kuliner yang autentik. Restoran terkenal seperti Restoran Madras, Restoran Cahaya Baru, dan Mamak Restaurant adalah tempat yang sering dikunjungi untuk menikmati cita rasa khas India di Medan.

Masyarakat Batak, umumnya Batak Toba, Simalungun, Pakpak Dairi, dan Karo, kemudian Nias,, memiliki beragam makanan khas berbahan daging babi. Olahan daging babi yang lebih dikenal yakni Saksang dan Tanggo-tanggo, yang saat ini juga banyak ditemui di provinsi lain di Indonesia.Selain itu, beberapa makanan yang dikenal berasal dari Sumatera Utara yakni Bika Ambon dari Kota Medan, kemudian Ikan Mas Arsik, Mie Gomak, Lontong Medan, Lemang, Lapet, Naniura, Ombus-ombus, manuk napinadar, dan lainnya.

Sebagai kota terbesar di Pulau Sumatra dan di Selat Malaka, penduduk Medan banyak yang berprofesi di bidang perdagangan. Biasanya pengusaha Medan banyak yang menjadi pedagang komoditas perkebunan. Setelah kemerdekaan, sektor perdagangan secara konsisten didominasi oleh etnis Tionghoa dan Minangkabau. Bidang pemerintahan dan politik, dikuasai oleh orang-orang Melayu dan Batak Mandailing. Sedangkan profesi yang memerlukan keahlian dan pendidikan tinggi, seperti pengacara, dokter, notaris, dan wartawan, mayoritas digeluti oleh orang Minangkabau.[40]

Perluasan Kota Medan telah mendorong perubahan pola pemukiman kelompok-kelompok etnis. Etnis Melayu yang merupakan penduduk asli kota, banyak yang tinggal di pinggiran kota seperti Belawan, Denai, dan Marelan. Etnis Tionghoa dan Minangkabau yang sebagian besar hidup di bidang perdagangan, 75% dari mereka tinggal di sekitar pusat-pusat perbelanjaan. Pemukiman orang Tionghoa dan Minangkabau sejalan dengan arah pemekaran dan perluasan fasilitas pusat perbelanjaan. Orang Mandailing juga memilih tinggal di pinggiran kota yang lebih nyaman, oleh karena itu terdapat kecenderungan di kalangan masyarakat Mandailing untuk menjual rumah dan tanah mereka di tengah kota, seperti di Kampung Masjid, Kota Maksum, dan Sungai Mati. Sedangkan pemukiman orang Karo dan Batak kebanyakan berada di bagian selatan kota, seperti Simalingkar atau Padang Bulan. Hal tersebut dikarenakan jarak antara kota Medan wilayah selatan lebih dekat dengan kampung halaman mereka dibandingkan pusat kota maupun wilayah pesisir, khususnya orang Karo yang berdomisili di sekitar Sibolangit, Berastagi, dan Kabanjahe, dimana hanya tinggal mengikuti lintas Jalan Raya Jamin Ginting terus ke arah selatan untuk menuju kesana.[40]

Ada banyak bangunan-bangunan tua di Medan yang masih menyisakan arsitektur khas Belanda. Contohnya: Gedung Balai Kota lama, Kantor Pos Medan, Menara Air Tirtanadi (yang merupakan ikon kota Medan), Titi Gantung–sebuah jembatan di atas rel kereta api, Kantor Pos, Bank Indonesia, Gedung London Sumatra dan Bangunan tua di daerah Kesawan.

Selain itu, masih ada beberapa bangunan bersejarah, antara lain Istana Maimun, Masjid Raya Medan, Masjid Raya Al Osmani dan juga rumah Tjong A Fie di kawasan Jalan Jend. Ahmad Yani (Kesawan).

Daerah Kesawan masih menyisakan bangunan-bangunan tua, seperti bangunan PT London Sumatra, dan ruko-ruko tua seperti yang bisa ditemukan di Penang, Malaysia dan Singapura. Ruko-ruko ini, kini telah disulap menjadi sebuah pusat jajanan makan yang ramai pada malam harinya. Saat ini Pemerintah Kota merencanakan Medan sebagai Kota Pusat Perbelanjaan dan Makanan. Diharapkan dengan adanya program ini menambah arus kunjungan dan lama tinggal wisatawan ke kota ini.

beberapa bangunan tua yang masih berfungsi di kota Medan;

Keunikan Medan terletak pada becak bermotornya (becak mesin/ becak motor) yang dapat ditemukan hampir di seluruh Medan. Berbeda dengan becak biasa (becak dayung), becak motor dapat membawa penumpangnya ke mana pun di dalam kota. Selain becak, dalam kota juga tersedia angkutan umum berbentuk minibus (angkot/oplet) dan taksi. Pengemudi becak berada di samping becak, bukan di belakang becak seperti halnya di Jawa, yang memudahkan becak Medan untuk melalui jalan yang berliku-liku dan memungkinkan untuk diproduksi dengan harga yang minimal, karena hanya diperlukan sedikit modifikasi saja agar sepeda atau sepeda motor biasa dapat digunakan sebagai penggerak becak. Desain ini mengambil desain dari sepeda motor gandengan perang Jerman di Perang Dunia II.

Sebutan paling khas untuk angkutan umum adalah Sudako. Sudako pada awalnya menggunakan minibus Daihatsu S38 dengan mesin 2 tak kapasitas 500cc. Bentuknya merupakan modifikasi dari mobil pick up. Pada bagian belakangnya diletakkan dua buah kursi panjang sehingga penumpang duduk saling berhadapan dan sangat dekat sehingga bersinggungan lutut dengan penumpang di depannya.

Trayek pertama kali sudako adalah "Lin 01", (Lin sama dengan trayek) yang menghubungkan antara daerah Pasar Merah (Jalan HM. Joni), Jalan Amaliun dan terminal Sambu, yang merupakan terminal pusat pertama angkutan penumpang ukuran kecil dan sedang. Saat ini "Daihatsu S38 500 cc" sudah tidak digunakan lagi karena faktor usia, dan berganti dengan mobil-mobil baru seperti Toyota Kijang, Isuzu Panther, Daihatsu Zebra, dan Daihatsu Espass.

Selain itu, masih ada lagi angkutan lainnya yaitu bemo, yang berasal dari India. Beroda tiga dan cukup kuat menanjak dengan membawa 11 penumpang. Bemo kemudian digantikan oleh bajaj yang juga berasal dari India, yang di Medan dikenal dengan nama "toyoko".

Jaringan transportasi Kereta api di Kota Medan menghubungkan Medan dengan Binjai–Stabat–Tanjung Pura di sebelah barat, Belawan di sebelah utara, dan Tebing Tinggi–Siantar dan Tebing Tinggi–Kisaran-Tanjungbalai-Rantau Prapat di sebelah timur. Berikut daftar nama kereta api :

Jaringan transportasi Jalan Tol Tol Belmera menghubungkan Medan dengan Belawan dan Tanjung Morawa. Jalan Tol Medan—Kuala Namu—Tebing Tinggi dan Medan—Binjai juga sudah selesai pembangunannya dan sudah beroperasi.

Pada akhir tahun 2015, sistem Bus Rapid Transit Trans Mebidang telah beroperasi di Kota Medan, Kota Binjai, dan Kabupaten Deli Serdang.

Pada November dalam tahun yang sama, transportasi dalam jaringan berbasis aplikasi mulai masuk dan beroperasi di Kota Medan, yang diawali dengan ojek sepeda motor, dan diikuti kendaraan roda empat. Hal ini sempat mendapat berbagai protes dan pertentangan dari sejumlah pihak, termasuk pelaku moda transportasi angkutan kota (angkot) yang telah ada sebelumnya. Namun seiring berjalannya waktu serta kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat maka transportasi ini menjadi salah satu pilihan alternatif yang paling diminati.

Kehadiran TEMAN BUS di Kota Medan menjadi layanan yang kelima dalam program Buy The Service (BTS) yang digagas oleh Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. Operator yang menjalankan operasional layanan TEMAN BUS di Kota Medan adalah PT Medan Bus Transport (Trans Metro Deli).[42]

Angkutan Bus Rapid Transit (BRT) ini menjadi penunjang mobilisasi masyarakat Kota Medan yang mencakup hingga ke wilayah Distrik Belawan, Terminal Pinang Baris, Lapangan Merdeka, Terminal Amplas dan Tembung.

TEMAN BUS Medan sebanyak 72 unit dengan rute layanan di 5 Koridor, yaitu:[42]

Terminal bus yang melayani warga Medan:

Pelabuhan Belawan terletak di bagian utara Kota Medan. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan Indonesia tersibuk di luar Pulau Jawa.

Bandar Udara Internasional Kualanamu yang berada di Desa Beringin, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang yang menghubungkan Medan dan sekitarnya dengan kota-kota seperti Bandung, Palembang, Jakarta, Surabaya serta Kuala Lumpur, dan Georgetown di Malaysia dan Singapura.

Beberapa klub olahraga yang terdapat di Medan antara lain klub sepak bola: PSMS Medan, Medan Jaya, Medan Chiefs, Bintang PSMS Medan dan Medan United; dan klub basket: Angsapura Sania. Gelanggang olahraga yang terdapat di Medan antara lain Stadion Teladan, Stadion Kebun Bunga, dan GOR Angsapura. Sedangkan lapangan untuk berolahraga adalah Lapangan Merdeka, Lapangan Persit Chandra Kirana (Jalan Gaperta), dan Lapangan Benteng.

Sedikit tambahan lagi terjemahan bahasa medan

Pekan Olahraga Kota Medan

Sejak tahun 2009, KONI Kota Medan dan pemerintah Kota Medan mengadakan Pekan Olahraga Kota (Porkot). Pembukaan dan penutupan Porkot dilaksanakan di Stadion Teladan.[43][44]

Porkot 2009 dilaksanakan tanggal 11-18 Agustus 2009 mempertandingkan 30 cabang olahraga.[43] Kecamatan Medan Helvetia menjuarai Porkot ini.[45][46]

Porkot 2010 dilaksanakan tanggal 11-18 Desember 2010 mempertandingkan 32 cabang olahraga.[47][48] Kecamatan Medan kota menjuarai porkot ini.[45]

Porkot 2011 dilaksanakan tanggal 15-22 Oktober 2011 mempertandingkan 33 cabang olahraga.[44] Kecamatan Medan Kota menjuarai Porkot ini dengan kecamatan Medan Helvetia berada di peringkat kedua dan kecamatan Medan Denai berada di peringkat ketiga.[49][50][51]

Wikimedia Commons memiliki media mengenai

Wikiwisata memiliki panduan wisata

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tribun Medan adalah sebuah surat kabar harian tertua dengan sirkulasi terbesar nomor satu yang terbit di Tanah Deli sementara surat kabar tertua di Tanah Deli untuk berbagai bahasa Indonesia bersamaan dengan Sinar Indonesia Baru dan Waspada. Surat kabar ini termasuk dalam Tribun Network. Kantor pusatnya terletak di Jalan Kiai Haji Wahid Hasyim Nomor 37, Babura, Medan Baru, Medan, Sumatera Utara. Koran ini pertama kali terbit sejak pada 27 September 2010. Surat kabar ini slogan dan motto adalah Spirit Baru Sumatera Utara.

Tribun Medan sebuah surat kabar harian pertama kali yang terbit di Medan sejak pada 27 September 2010, maka dari itu tanggal 27 September dijadikan hari lahir Tribun Medan. Tribun Medan secara resmi menjadi sponsor utama tim sepak bola PSMS Medan selama Divisi Utama Liga Indonesia 2010–2011.

Bahasa Orang Medan bukan Bahasa Batak

Saya bilang begini karena masih banyak yang mengira Medan itu kota orang Batak. Padahal kota Medan itu terdiri dari banyak etnis, dan meskipun kita sering ketemu orang bermarga di Medan, belum tentu ngomongnya Batak. Kalau orang Medan pasti ngomongnya pakai bahasa Medan yang sudah tercampur dengan bahasa melayu, sementara kalau mau dengar orang Batak asli ngomong ya main-mainlah ke Pematangsiantar, itu yang paling dekat. Jadi bisa dikatakan kamus bahasa Medan itu ya campur-campurlah dengan kamus hokkien Medan, kamus melayu Medan. Karena memang orang Medan itu etnisnya sangat beragam.

Awal pindah ke Medan, saya dan abang saya yang masih bocah dibuat terkejut-kejut dengan bahasa ajaib orang Medan. Nanti di bawah saya akan tuliskan kosa kata bahasa Medan sehari-hari yang wajib diketahui sebelum kalian traveling ke Medan ya.

Nah. Sebelumnya saya akan menceritakan dulu pengalaman abang saya saat mau membeli sate di sebuah warung, di beberapa malam pertama kami menempati rumah di Komplek Gaperta, Medan.

Jadi di warung dekat rumah kami itu ada ibu-ibu tua yang menjual sate di panggangan kecil di lantai, jadi bukan dengan gerobak ya. Abang saya lalu bilang ke papi kalau dia mau mencoba sate itu, penasaran itu sate apa. Ya maklumlah kami dari kota kecil tentu sangat excited mencoba hal-hal baru di kota besar. Di Biak makan sate atau mie tiau adalah kemewahan, sebab yang jualan sedikit sehingga harga jual pun tinggi.

“Ya sudah sana, coba tanya,” begitulah kata papi waktu itu. Lalu pergilah abang saya ke sana. Eh tak sampai lima menit dia kembali dengan terengah-engah dan raut wajahnya penuh rasa terkejut.

“Kenapa?” Tanya Papi.

“Dong bilang itu sate kera, Pi!” Seru si abang. (dengan logat Irian yang kental)

Kami semua kaget mendengar itu. “Issh… orang Medan kejam-e… masa dong biking sate dari monyet?” (Bahasa Papua, dong = mereka, biking = bikin)

Tak lama kemudian papi kami mendapat info akurat, kalau itu bukanlah sate kera, tapi SATE KERANG! Hhahaha :))

Pada akhirnya kami pun tahu bahwa sate kerang adalah juga jajanan khas Medan yang terkenal. Tak jarang jadi bekal oleh-oleh selain duren, bika ambon, bolu meranti, teri medan, dannnn lain-lain. Gak usah kusebutlah semuanya ya, banyak soalnya kuliner Medan.

Baca ini juga ya woi: Tempat Wisata di Medan yang Wajib Dikunjungi

Sebagai bocah yang pindah dari pulau terujung Indonesia ke kepulauan yang juga paling ujung Indonesia, kami tentu beradaptasi dengan bahasa Medan yang kemudian sekarang melekat dalam diri kami. Kami juga bergaul dengan anak-anak Medan dengan ragam suku yang juga penasaran dengan kami, teman-teman baru yang baru datang dari pulau yang nun jauh di sana, Irian Jaya. Saat itu juga saya baru sadar bedanya Tionghoa Medan dengan Tionghoa di Biak atau Jakarta. Kalau di Medan mereka bicara pakai bahasa aslinya hokkien, tapi kalau di Biak, semua pakai bahasa lokal, ya kurang lebih sama dengan di Jakarta atau di Jawa.

Dan ternyata, orang Medan juga suka menyingkat-nyingkat kata seperti kami di Papua, tapi bahasa Medan jauh lebih beragam karena ada unsur melayu di dalamnya. Dan karena begitu beragamnya budaya di Medan, jadi sangat lumrah sikap kesukuan cukup kuat. Orang Tamil Medan bisa pakai bahasa sendiri, orang Tionghoa Medan juga begitu, tapi untuk sehari-hari semua pakai bahasa Medan yang sama.

Yang suka bikin saya mengernyitkan dahi adalah kalau ada orang Medan, di Medan, tapi sok becakap lu gue. Lu gue itu dipakai kalau kau di Jakarta, pas kau balek Medan, ya normal ajalah, kan kau orang Medan.

Mungkin ini sebabnya, ketika saya baru masuk hari pertama di SD Persit (murid pindahan tengah tahun), saat itu seorang teman baru, cowok berbadan gemuk berkulit putih mengajak saya mengobrol dengan bertanya-tanya seperti, “Irian itu di mana? Kamu tinggal di sana berapa lama?” dst…. lalu ada teman lain yang komplen. Katanya, “Pakek kau-kau ajalah ngomongnya… gak usah pakai kamu.”

Eh eh pernah nih, udah lamaaaa sekali, waktu saya masih di Medan, mau cetak foto, jadi saya masuk ke tempat cuci cetak, terus langsung ke bagian CS, karena kan memang gak ada nomor antrian. Itu ya terserah CS-nya nanti yang harusnya kasih nomor, dong. Waktu saya jalan ke depan, terdengar suara berbisik tapi cukup kuat berasal dari kursi berderet di dekat pintu masuk tadi. “Dasar orang Medan.” Maksud dia itu, karena dianggapnya saya gak tahu antri. Saya menoleh sekilas lalu balik lagi menghadap CS sambil berkata juga cukup kuat, “Hhmpph….yaelah kayak dia bukan orang Medan aja.” Gak usah tipulah, dari cakap kau aja udah tahu aku kau orang Medan. LOL.

Lagipula apa hubungannya orang Medan sama gak tahu antrian? Di mana-mana juga banyak kelakuan orang gak antri. Dan aku bukannya gak ngantri ya, memang gak ada penerima tamu di situ. *Jadi emosi awak kan?